Menginjak hari ketiga bertualang di Semarang, kembali semua dimulai dengan sarapan yang lezat. Kali ini giliran nasi ayam Bu Nyoto, salah satu yang paling ikonik dari kota bersejarah ini!
Kembali bangun pagi menjadi kunci dari segala petualangan saat berlibur. Karena agendanya adalah sarapan di luar, maka saya memulai hari dengan – ya, sudah bisa ditebak, bukan? Jawabannya adalah sarapan ringan di Rooms Inc. Semarang!
Punya kesempatan beberapa hari menginap di sini berarti saya bisa mencoba makanan berbeda setiap harinya. Karena sarapan dari buffet beragam dan kesempatan menginap hanya semalam, biasanya banyak orang yang terlalu berlebih dalam mengambilnya. Apalagi kalau hanya untuk sekadar foto-foto dan berbagi di linimasa. Alangkah lebih baiknya kalau kita mengambil yang terbaik dan secukupnya. Sayang rasanya kalau tersisa banyak, bukan?
Nah, setelah berkumpul semua dengan teman-teman, waktunya untuk berangkat menuju Nasi Ayam Bu Nyoto!
Konsep sarapan nasi ayam

Bagi kamu-kamu yang tinggal di Pulau Jawa dan sudah menyatu dengan kultur kulinernya, pasti tidak akan asing ketika melihat isi dari nasi ayam khas Semarang. Dibanderol dengan harga yang sangat terjangkau, seporsi biasanya terdiri dari beberapa elemen yang sering tampil di masakan rumahan.
Misalnya saja di Nasi Ayam Bu Nyoto, nasi ayam yang tersaji dalam pincuk ini dipadukan dengan suwiran ayam, telur bacem, dan sayur labu siam. Sebelas dua belas dengan nasi liwet Solo, bukan? Sungguh sederhana namun punya cita rasa yang sangat kaya. Rasanya seporsi saja tidak cukup!
Menilik kembali kuliner historis Indonesia

Layaknya menu-menu historis lainnya, nasi ayam di kota Semarang tentu punya nama-nama besar di baliknya. Selain Bu Nyoto, ada juga yang senang berkunjung ke Bu Wido ataupun Bu Pini. Konsep ibu-ibu dengan pengalaman panjang memasak selama puluhan tahun memang populer di hampir seluruh dunia, tapi tentu banyak cerita di baliknya.
Menariknya, Pulau Jawa selalu punya nama kedai sekaligus figur aslinya. Ambil saja contohnya di Jogja dengan jajanan pasar Mbah Satinem ataupun gudeg Mbok Lindu. Kedua tokoh tersebut memang terlampau ikonik, tapi jangan lupakan juga nama-nama lainnya.
Hampir sebagian besar di antara mereka berangkat dari sebuah perjuangan mempertahankan diri dan kemaslahatan keluarganya. Dari yang dahulunya “dipalak” para Kompeni Belanda supaya bisa berjualan, berlari-lari dikejar aparat, ataupun yang hingga kini masih hidup dalam kesederhanaannya.
Tapi ingat, cita rasa yang mendalam dari masakan mereka merupakan hasil kerja keras selama puluhan tahun. Itu tidak akan didapat hanya dengan berjualan asal-asalan. Saya masih percaya bahwa warisan yang ditinggalkan adalah akumulasi dari dedikasi seumur hidup dan menolak jalan pintas.
Pengalaman makan di Nasi Ayam Bu Nyoto

Warung tenda milik Bu Nyoto buka dua kali dalam sehari – untuk sarapan dan makan malam. Terletak di pinggir jalan raya besar, nasi ayam Bu Nyoto tampil cukup ramai di pagi hari saat kami berkunjung sekitar pukul 8.30. Meskipun tidak tampak antrian, setidaknya hampir semua tempat duduk yang tersedia sudah ditempati.
Proses memesan juga terbilang mudah meskipun tidak teratur secara antrian. Dengan sigap para ibu-ibu di balik segenap bahan nasi ayam langsung saja menyiapkan porsi demi porsi. Tidak lama, kami semua menikmati dengan sangat setiap suapnya. Hanya butuh waktu sekejap untuk menghabiskannya dan sempat tergoda untuk tambah satu piring.
“Jangan, lah“, dalam hati saya berujar. Kita simpan saja dahulu kenangan ini untuk kemudian kita bersua kembali. At this point, Semarang sudah masuk ke dalam relung hati dan di sana kuberjanji akan menjumpainya kembali satu masa nanti. Tentunya dengan mengajak seluruh keluarga menikmati hidangan-hidangannya yang terbaik!
NASI AYAM BU NYOTO, SEMARANG
Address:
Jalan Mayjen MT Haryono, Semarang – Jawa Tengah, Indonesia
Opening hours:
Daily, 6am-10am & 6pm – 9.30pm