Pemahaman Gastronomi di Indonesia masih langka dan belum dimengerti oleh masyarakat kebanyakan. Malah ada yang menyamakan gastronomi dengan kuliner atau kulinologi. Ketiganya punya arti yang berbeda meski obyeknya sama yakni makanan & minuman (hidangan).
Kuliner (atau disebut juga seni kuliner) didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu dan kebiasaan (practices) yang berhubungan dengan seni dan keterampilan menyiapkan, menyusun, memasak, meracik minuman dan menyajikan hidangan (makanan & minuman).
Kulinologi adalah pendekatan baru dalam seni memasak (kuliner) yang memadukan (mensinergikan) seni kuliner, ilmu dan teknologi pangan untuk membuat rasa hidangan (makanan & minuman) lebih baik dengan metode menerjemahkan konsep sebuah makanan dan minuman, seperti yang diterapkan dalam santapan atau dalam hidangan etnis tradisional.
Gastronomi adalah seni, ilmu dan pengetahuan mendetail serta apresiasi akan makanan dan minuman yang baik (good eating) atau segala sesutu yang berhubungan dengan kenikmatan dari hidangan (makan dan minuman).
Secara universal, gastronomi adalah sebuah pengetahuan yang mempelajari mengenai hubungan kuliner dengan berbagai komponen budaya dimana makanan & minuman sebagai poros tengah yang fokusnya pada hidangan yang berkualitas prima (gourmet).
Hubungan budaya dan gastronomi terbentuk karena gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian, peternakan dan perikanan, sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dari berbagai bangsa dan negara yang dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan.
Peran gastronomi adalah sebagai landasan untuk memahami bagaimana makanan dan minuman digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Melalui gastronomi dimungkinkan untuk membangun sebuah gambaran dari persamaan atau perbedaan pendekatan atau perilaku terhadap makanan dan minuman yang digunakan di berbagai negara dalam budaya kebangsaan-nya. Pengetahuan tersebut secara holistik menjadi satu kesatuan terkait dengan seni dan ilmu sosial bahkan ilmu pengetahuan alam dalam hal sistem gizi tubuh manusia.
Dengan demikian pemahaman terhadap seni dalam kuliner dan kulinologi adalah sekedar makna sekunder dan simbolisme yakni sebatas hidangan yang dikonsumsi setiap hari untuk mempertahankan hidup atau bicara “sebatas perut”. Kalau diibaratkan sebuah toko, maka kuliner adalah pemandangan terbatas terhadap beberapa hidangan tertentu yang dipajang di etalase kaca luar toko yang bertujuan mengundang minat orang untuk singgah masuk ke dalam. Begitu masuk, maka kaca mata kulinologi berbicara mengenai berbagai aneka hidangan yang isinya lebih banyak / lengkap tersaji di dalam toko tersebut. Sedangkan gastronomi punya ruang pandang yang lebih luas, yang tidak hanya memandang sebatas apa yang dipajang di etalase itu atau berbagai aneka hidangan yang tersaji di dalam, tetapi juga siapa-siapa yang mengelola di dapur bahkan sampai bahan baku yang disusun di gudang penyimpanannya.
Jika sudah bisa dipahami “benang” merah dari gastronomi, kuliner & kulinologi seperti yang dijelaskan di atas, maka apapun bidang atau kriteria atau penggolongan atau jenis dari pembahasan untaian kata gastronomi (termasuk kuliner & kulinologi), secara konkrit prosesnya disusun sesuai tahapan seni keahlian (“tangible“) sebagai berikut :
1. Mencari sejarah asal usul budidaya makanan dan minuman yang disajikan (Sejarah Budidaya)
2. Faktor budaya yang mempengaruhi masyarakat mengkonsumsi hidangan tersebut (Budaya)
3. Susunan isi resepi makanan dan minuman (Resep)
4. Memilih bahan baku makanan dan minuman (Bahan Baku)
5. Persiapan sebelum memasak makanan dan meracik minuman (Persiapan)
6. Proses maupun teknik memasak dan meracik minuman (Proses & Teknik)
7. Keseimbangan estetika yang prima terhadap mutu kekayaan makanan dan minuman (Estetika)
8. Kecanggihan seni presentasi maupun penyajian makanan dan minuman (Seni Presentasi dan Penyajian)
9. Proses mencicipi makanan dan minuman (Mencicipi)
10. Penilaian makanan dan minuman (Penilaian)
Dari ke-10 butir tahapan seni keahlian di atas, yang membedakan gastronomi dari kuliner & kulinologi adalah di butir 1,2, dan 10, dimana keduanya (dan ini sebenarnya) tidak diwajibkan berbicara mengenai tiga butir tersebut, meskipun banyak orang suka “latah dan genit” mencampur-adukan ketiga butir ini ke dalam kuliner & kulinologi, sehingga mengakibatkan garis tegas perbuatan mereka berada di wilayah “abu-abu”. Begitu seorang ahli kuliner atau kulinologi melakukan tindakan butir 1,2, dan 10, maka yang bersangkutan sudah masuk ke dalam ranah gastronomi dan orang yang melakukan tindakan itu disebut sebagai gastronom.
Ke-10 butir tahapan seni keahlian ini (atau disebut juga sebagai “tangible“) banyak dipakai sebagai standard pemahaman hidangan (makan dan minuman) masyarakat Barat (seperti Eropa, Amerika & Australia). Kuliner masyarakat Barat dikenal dengan inovasi resepi baru (dan atau modifikasi) dengan cara mengakomodasi kebiasaan kuliner lokal dengan budaya masak dari etnik pendatang yang masuk ke negeri mereka. Pada umumnya restoran atau kedai makan di Barat selalu menghidangkan menu resepi yang berbeda dengan tempat lain walaupun namanya sama tetapi tetap mempunyai perbedaan isi satu sama lain.
Dengan demikian perkembangan gastronomi masyarakat Barat sangat pesat dan selalu mempunyai inovasi baru sehingga semua yang berhubungan dengan ke-10 butir tahapan seni keahlian di atas selalu berkembang sesuai jaman dan berubah dari suatu waktu ke waktu sesuai selera dan pengetahuan baru. Gastronomi masyarakat Barat jarang menampilkan resepi warisan tradisional, walaupun untuk acara-acara tertentu tetap dipertahankan (antara lain Natal dan Thanksgiving). Gastronomi masyarakat Barat minim memiliki filosofi, kearifan budaya lokal, nilai ritual maupun nilai religi, sehingga content gastronomi mereka berbeda dengan content gastronomi di masyarakat Timur (atau bangsa Asia).
GASTRONOMI INDONESIA :
Gastronomi Indonesia memiliki kemiripan dengan gastronomi masyarakat Timur (atau bangsa Asia). Secara universal definisinya hampir sama dengan pemahaman gastronomi di masyarakat Barat, yakni gastronomi dengan makna “tangible” menggunakan10 butir tahapan seni keahlian yang ada.
Hanya saja di sebagian resepi hidangan gastronomi Indonesia (maupun masyarakat Timur) memiliki unsur tambahan yakni makna “intangible” yaitu nilai-nilai luhur di balik hidangan yang ada seperti legenda, filosofi, etika, perilaku, identitas kepribadian, jati diri dan akar budaya bangsa yang melembaga secara tradisional. Intinya makna intangible di sebagian resepi hidangan makanan & minuman yang ada merupakan kearifan lokal dari gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan masyarakat lokal setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik nan tertanam, bersemayam selanjutnya diikuti oleh anggota masyarakat turunannya.
Oleh karena itu, jika membahas Gastronomi Indonesia harus bisa ditarik garis tegas antara gastronomi dalam pengertian “tangible” dengan gastronomi dalam pengertian “intangible” di sebagian hidangan makanan & minuman yang ada, walaupun keduanya satu sama lain saling sejalan ber-iringan (“tangible + intangible“).
Lebih jauh lagi makna “tangible” dari gastronomi Indonesia (atau masyarakat Timur) itu berbeda dengan dengan “tangible” gastronomi masyarakat di Barat, dimana kekayaan khazanah inovasi dan modifikasi terhadap resep-resep makanan & minuman secara siklus selalu berulang terjadi di masyarakat di Barat. Seperti diketahui makanan & minuman bangsa Indonesia adalah resep hidangan dari 1,340 suku & sub-suku yang merupakan warisan tradisional para leluhur nenek moyang serta perpaduan dari budaya hidangan etnik pendatang yakni India, Timur Tengah, Tionghoa dan penjajah kolonial Belanda yang diserap dan diolah oleh penduduk lokal setempat menjadi budaya kuliner masyarakat Nusantara sebelum Republik ini berdiri.
Sejak itu jarang diketahui atau dilihat ada inovasi baru terhadap resep-resep hidangan makanan dan minuman bangsa Indonesia, meskipun akhir-akhir ini ada gejala beberapa modifikasi dilakukan oleh para chef muda Indonesia. Meskipun demikian, sejak kemerdekaan, sejarah memperlihatkan sebagian besar bangsa Indonesia mengalami masa migrasi dari berbagai etnik pendatang dari luar, namun bisa dikatakan percampuran budaya resepi masakan luar tidak begitu besar mempengaruhi “local heritage cuisine” yang ada nang ini telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Umumnya pengaruh itu hanya berkisar pada bahan baku dan bumbu, sedangkan subtansinya masih sama.
—–
Written by: Indra Ketaren
Source: http://gastroina.blogspot.com/