Hadir dan munculnya coffee shop selalu merupakan kabar baik dan menyenangkan khususnya untuk komunitas modern sekarang yang gemar nongkrong, ngobrol, hingga sebatas surfing di dunia maya. Bahkan bagi saya pribadi, tenggelam atau hilangnya sebuah tempat ngopi justru merupakan berita duka tiada tara. Agak lebay terdengarnya tapi bagi seorang pecinta kopi seperti saya pemunculan sebuah kissaten atau coffee shop dalam bahasa Jepang di Little Tokyo, Blok M, adalah berita yang cukup jarang dan tentunya menggembirakan.

Segera saja penjajalan dimulai. Kedai kopi Kopikoe Kopimoe berada di dalam sebuah gedung multifungsi dimana di dalamnya selain café itu sendiri terdapat galeri lukisan, batik, serta display mesin-mesin pembuat kopi untuk dijual. Looks promising! Bahkan desain dari tempatnya sendiri yang didominasi warna kayu dan suasana kalem membuatnya tampak nyaman.

Baru saja menikmati kenyamanan itu, segera saja beberapa hal yang mengganggu silih berganti datang. Pertama adalah performa dari pelayanannya yang sebetulnya helpful namun tidak knowledgeable. Memang pada menunya saat itu terdapat tanda bintang pada beberapa pilihan makanannya dan tidak dijelaskan, namun mereka tidak mampu mengkonfirmasi apakah itu memang rekomendasi atau hanya sekadar “hiasan”. Atau setidaknya ada yang berinisiatif merekomendasikan sesuatu untuk tamunya. Oh I wanna get pampered all of a sudden! But don’t we all want it?

Kedua, untuk sebuah tempat yang didesain baik, agak disayangkan karena hawanya yang agak panas meski AC sudah dinyalakan. Siang itu memang teramat cerah dan juga ruangan café yang disatukan dengan gallery sehingga satu atau dua AC tidak cukup untuk mendinginkan semuanya. But let’s just get on to the food and coffee, shall we?

Dari food department sebetulnya tidak terlalu menjanjikan, Nasi Goreng Kampung yang saya pesan khusus dengan telur sunny side up ternyata terlalu matang. Nasi gorengnya sendiri terlalu penuh dengan bawang instead of misalnya irisan cabai (padahal katanya Nasi Goreng Kampung!) meski jaman sekarang pilihan bakso dan sosis juga sudah terasa rustic enough untuk sebuah Nasi Goreng Kampung. Selain itu, nasi goreng tersebut didampingi dua tusuk sate ayam bumbu kacang serta kerupuk udang dan acar.

Sedangkan untuk Fish and Chips sendiri sebetulnya tampil menjanjikan dengan porsi yang melimpah yaitu dengan beberapa potong ikan yang cukup besar serta fries yang digoreng dengan sedikit kulitnya, menjadikannya tampak less tempting namun menjadi lebih renyah. Satu lagi flaw-nya adalah ketika saya meminta tambahan tartar sauce ternyata yang dibawakannya adalah mayonnaise.

Oh dear…

Lucky though because mayonnaise sebetulnya terbilang fleksibel dengan berbagai bahan makanan khususnya dengan ikan. Rasa secara keseluruhan sebetulnya tidak mengecewakan dengan ikan yang terisi penuh di setiap balutannya dan rasa kentang yang masih memiliki setidaknya unsur garam dalam rasanya, tapi secara kuantitas penyajian, presentasi, dan memahami psikologis pelanggannya (dalam menghadapi porsi besar dengan harga yang lumayan mahal) tentu membutuhkan semacam reengineering lagi dalam berbagai hal.

Bagaimana dengan kopinya? Kebetulan di siang hari yang panas apalagi di daerah Little Tokyo yang tidak memiliki penghijauan sama sekali, pilihan ice blended coffee tampaknya merupakan pilihan bijak. Segera saja saya pesan dua gelas Dua Tanda Mata (kopi dengan hazelnut dan mocha) serta Tante Dorce (kopi dengan tiramisu dan caramel). Jujur saya tidak yakin apa yang hendak mereka perbuat dengan tiramisu itu namun setidaknya terdengar cocok dengan kopi dingin.

Namun alih-alih mendapatkan kopi dingin yang di-blender dengan es batu seperti halnya Frapuccino di Starbucks or any kind of ice blended coffee yang biasa kita ketahui, mereka membuatkan kopi yang pada dasarnya adalah café latte namun dengan unsur-unsur yang telah tadi disebutkan dan ternyata definisi blended itu menjadi pekerjaan para pelanggan café tersebut yaitu dengan mengocok menggunakan sedotan! Untung saja rasanya tidak terlalu mengecewakan, meski kopinya menjadi tidak dominan sama sekali karena dikendalikan oleh susu serta tambahan caramel dan the so-called tiramisu pada Tante Dorce serta hazelnut dan mocha pada Dua Tanda Mata. Terselamatkan tentunya oleh kekentalan minuman tersebut sehingga tidak terasa berair sama sekali atau kebanyakan es sebagai faktor terbesar pengurai kelezatan sebuah minuman kopi dingin.

Kopikoe Kopimoe beruntung sekali lagi mendapatkan credit sebagai salah satu ponggawa perkopian lokal karena biji-biji yang mereka pakai serta tempatnya yang stylish, cozy, dan memiliki ambiance yang relaxing tapi justru malah keunggulan tersebut seolah dijadikan sebagai penutup rasa bersalah dalam kualitas kopi, makanan, dan service yang kurang teredukasi. Can you keep everything in balance, Kopikoe Kopimoe? I guess not at this rate but it’s still worth the try. 

Corner92 Building, Jl. Melawai IX no. 8, Jakarta

RSVP: 021 – 720 7348

Facebook: http://www.facebook.com/profile.php?id=100001525119672&sk=info

Rating: 2/5

Price Range: IDR 100,000 – 125,000 for two

-Featured in HANG OUT JAKARTA June 2011 edition-

Link: http://hangoutjkt.com/food/59/KOPIKOE-KOPIMOE

Advertisement

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s